Pengikut

Rabu, 02 Maret 2016

MOBILITAS SOSIAL

PENGERTIAN SOSIOLOGI


Sosiologi pada hakikatnya bukanlah semata-mata ilmu murni (pure science) yang hanya mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak demi usaha peningkatan kualitas ilmu itu sendiri, namun sosiologi bisa juga jadi ilmu terapan        (applied science) yang menyajikan cara-cara untuk mempergunakan pengetahuan ilmiahnya guna memecahkan masalah praktis atau masalah sosial yang perlu ditanggulangi (Horton and Hunt, 1987:41), seorang ahli sosiologi yang melakukan penelitian tentang tekanan ekonomi atau masalah kemiskinan yang dialami keluarga buruh tani misalnya, maka ia adalah seorang ilmuan murni.
Kekhususan sosiologi adalah bahwa perilaku manusia selalu dilihat dalam kaitanya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, dan ditunjang bersama (Veeger, 1985:3).
Sosiologi dengan demikian bisa dikatakan sebagai ilmu tersendiri, karena ia adalah disiplin intelektual yang secara khusus, sistematis, dan terandalkan mengembangkan pengetahuan tanpa hubungan sosial manusia pada umumnya dan tentang produk dari hubungan tersebut (Hoult, 1969). Dengan kata lain, sosiologi mempelajari tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat, sebagai individu yang terlepas dari kehidupan masyarakat. Fokus bahasan sosiologi adalah interaksi manusia, yaitu pada pengaruh timbal balik diantara dua orang atau lebih dalam perasaan, sikap, dan tindakan. Sosiologi tidak begitu menitikberatkan pada apa yang terjadi di dalam diri manusia (merupakan bidang studi psikologi), melainan pada apa yang berlangsung di antara manusia.

PENGERTIAN SOSIOLOGI PERTANIAN

Sosiologi pertanian adalah suatu pengetahuan sistematis dari suatu hasil penerapan metode ilmu dalam mempelajari masyarakat pedesaan, struktur sosial dan organisasi sosial, dan juga sistem perubahan dasar masyarakat dan  proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat yang berkecimpu di dunia pertanian.

Sosiologi pertanian cenderung mengarah pada kehidupan keluarga petani yang mencakup dalam hubungannya dengan kegiatan pertanian di kehidupan bermasyarakat, misalnya tentang pola-pola pertanian, kesejahteraan  masyarakat, kebiasaan atau adat istiadat, grup sosial, organisasi sosial, pola komunikasi dan tingkat pendidikan masyarakat serta struktur sosialnya.  Jadi sosiologi pertanian merupakan ilmu yang mempelajari tentang pertanian sebagai mata pencarian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat itu sendiri.

MOBILITAS SOSIAL


A.    PENGERTIAN MOBILITAS SOSIAL

Mobilitas berasal dari kata latin mobilis, yang artinya mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Sedangkan social artinya sesuatu yang dibangun dan terjadi dalam sebuah situs komunitas (Keith Jacobs). Dan Menurut Horton  dan Hunt (1987), mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial bisa berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan biasanya termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok.
Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda. Pada masyarakat yang bersistem kelas sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi, sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta maka mobilitas warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada.

B.     JENIS MOBILITAS SOSIAL.

Dalam mobilitas sosial secara prinsip dikenal 2 macam, yaitu mobilitas sosial vertikal dan mobilitas sosisal horisontal.

1.      Mobilitas Sosial Vertikal.


Yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau obyek sosial dari kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainya yang tidak sederajat (Soekamto, 1982:244). Sesuai dengan arahnya, dikenal dua jenis mobilitas vertikal, yakni:
a.       Gerak sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial terendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. Gerak ini memiliki dua bentuk utama yaitu:
1)      Masuk ke dalam kedudukan yang lebih tinggi. Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, di mana kedudukan tersebut telah ada sebelumnya. Contohnya pak Anton adalah seorang Dosen disalahsatu PT, karena kerjanya bagus maka dia diberi amanah menjadi Dekan Prodi.
2)   Membentuk kelompok baru. Pembentukan suatu kelompok baru memungkinkan individu untuk meningkatkan status sosialnya, misalnya  Pembentukan organisasi baru memungkinkan seseorang untuk menjadi ketua dari organisasi baru tersebut, sehingga status sosialnya naik.

b.      Gerak  sosial yang menurun (social sinking), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial yang tinggi ke kelas sosial lain yang lebih rendah. Misalnya, seorang petani cengkeh yang jatuh miskin karena komoditas yang ditanamnya tidak laku-laku dijual di pasaran.

Menurut Soedjatmoko (1980), mudah tidaknya seseorang melakukan mobilitas vertikal salah satunya ditentukan oleh kekakuan dan keluesan struktur sosial dimana orang itu hidup. Seseorang yang memiliki bekal pendidikan yang tinggi bergelar doktor atau MBA, misalnya dan hidup di lingkungan masyaraat yang menghargai profesionalisme, besar kemungkinan akan lebih mudah menembus batas-batas lapisan sosial dan naik pada kedudukan lebih tinggi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.
Sebaliknya, setinggi apapun tingkat pendidikan seseorang, tetapi bila ia hidup pada suatu lingkungan masyarakat yang masih kuat nilai-nilai primodialisme dan sistem hubungan koneksi, maka kecil kemungkinan orang tersebut akan bisa lancar karirnya dalam bekerja.
Seorang petani miskin dalam banyak hal sulit naik status sosialnya dan sulit meningkatkan penghasilanya bila ia hidup di bawah sejumlah tekanan struktural. Untuk memperoleh bantuan  kredit, misalnya, mereka bukan saja sering kurang dipercaya, tetapi juga sulit memperolehnya karena kalah bersaing dengan warga desa lain yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Studi yang dilakukan Daru Priyambodo dan Bagong Suyanto (1991) menemukan bahwa para petani miskin umunya agak sulit bisa memperoleh bantuan kredit dari lembaga KURK (Kredit Usaha Rakyat Kecil) karena dinilai sering menunggak angsuran.

2.      Mobilitas Sosial Horizontal.


Berbeda degan mobilitas sosial vertikal yang berarti perpindahan dalam jenjang status yang berbeda, yang dimaksud mobilitas sosial horisontal adalah perpndahan individu atau obyek-obyek sosial lainya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial yang horisontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun obyek sosial lainya. Seorang buruh petani yang pada musim paceklik berpindah pekerjaan menjadi buruh bangunan atau tukang becak di kota tidak bisa di kategorikan sebagai mobilitas sosial vertikal karena mereka tidak mengalami perubahan pendapatan atau status sosial secara berarti.
Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara sukarela, tetapi bisa pula terjadi karena terpaksa. Apa yang dilakukan oleh petani diatas bisa digolongkan sebagai mobilitas sosial terpaksa, artinya petani tersebut terpaksa pindah ke pekerjaan lain karena memang di desanya tidak ada lagi pekerjaan lagi yang bisa dilakukan disektor pertanian, karena ancaman kekeringan. Contoh mobilitas sosial sukarela: seorang pegawai bank yang sudah bosan dan jenuh dengan pekerjaannya dan kemudian ingin berkarir di tempat lain, entah itu sebagai publik relation, dosen, atau pekerjaan yang lain.

C.    FAKTOR-FAKTOR PENDORONG MOBILITAS SOSIAL.

1.      Motivasi.
Setiap individu pasti memiliki keinginan tidak hanya memiliki cara hidup yang baik, tetapi juga ingin memperbaiki sikap sosialnya. Dalam sistem terbuka ada kemungkinan untuk mencapai status apapun. Keterbukaan ini memotivasi orang untuk bekerja keras dan memperbaiki keterampilan sehingga seseorang dapat mencapai status sosial yang lebih tinggi. Tanpa motivasi tersebut, upaya untuk mobilitas sosial pun akan mustahil.

2.      Prestasi.
Prestasi dapat mengacu terjadinya mobilitas sosial. Contohnya, performa positif anda yang tidak terduga ketika muncul di depan umum, yang dapat menarik perhatian publik yang lebih luas dengan kemampuan seseorang. Namun tidak semua prestasi akan menghasilkan mobilitas sosial.
3.      Pendidikan.
Pendidikan tidak hanya membantu seorang individu untuk memperoleh pengetahuan tetapi juga sebagai kunci untuk menuju prospek kerja yang lebih tinggi. Sebagai contoh, untuk menjadi dokter, setidaknya orang harus memiliki pendidikan dalam mata pelajaran sains, dan bisa meneruskan kejenjang perkuliahan.
4.      Keahlian dan Pelatihan.
Setiap masyarakat membuat ketentuan untuk memberikan keterampilan dan pelatihan untuk generasi muda. Untuk memperoleh keterampilan dan pelatihan kita harus membutuhkan banyak waktu serta uang. Mengapa orang-orang membutuhkan waktu dan uang ? Alasannya adalah bahwa masyarakat dapat memberikan dorongan pada orang-orang tersebut. Masyarakat tidak hanya memberikan status sosial yang lebih tinggi, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang lebih tinggi dan hak lainnya kepada orang-orang yang memiliki pelatihan tersebut. Tetap menjaga orang-orang yang menjalani pelatihan ini dengan harapan untuk naik di strata sosial. Dengan kata lain, keterampilan dan pelatihan memudahkan dalam perbaikan posisi, ini menyebabkan mobilitas sosial.
5.      Migrasi.
Migrasi juga dapat mempermudah terjadinya mobilitas sosial. Orang-orang bermigrasi dari satu tempat ke tempat yang lain karena ada faktor-faktor yang mendorongnya. Suatu tempat tertentu mungkin tidak memiliki peluang dan fasilitas yang memadai. Oleh karena itu, masyarakat dipaksa untuk bermigrasi ketempat lain untuk mendapatkan mata pencaharian yang layak bagi mereka.
6.      Industrialisasi.
Revolusi industri mengawali suatu sistem sosial yangbaru di mana orang diberi status sesuai dengan kemampuan dan pelatihan mereka. Itu tidaklah penting diberikan kepada yang mempunyai kasta tertentu, ras, agama dan etnis. Industrialisasi mengakibatkan produksi massal pada harga yang lebih murah. Hal ini memaksa para pengrajin dari pekerjaan mereka. Dalam mencari pekerjaan, mereka bermigrasi ke kota-kota industri. Mereka mendapatkan pelatihan keterampilan kerja dan mendapat pekerjaan pada bidang industri. Dengan pengalaman dan pelatihan, mereka bisa pindah atau naik tingkat pada strata sosial. Dalam masyarakat industri, status pada pekerjaan meningkat capai dikarenakan pekerjaan dan pelatihan mereka memumpuni. Sedangkan di masyarakat sebagai contoh pada daerah Bali yang beragama hindu, status di anggap berasal sesuai dengan keturunan mereka.

D.    FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT MOBILITAS SOSIAL.

1.      Perbedaan rasial dan agama.
Mobilitas sosial dapat terhambat karena faktor ras dan agama. Perbedaan ras menimbulkan perbedaan status sosial. Berikut contohnya:
Perbedaan tingkat ras yang pernah terjadi di Afrika Selatan. Ras kulit putih berkuasa dan tidak memberi kedempatan ras berkulit hitam berada di pemerintahan sebagai penguasa. Namun, setelah politik Apharteid berakhir, Nelson Mandela dari kalangan kulit hitam menjadi presiden afrika Selatan
Sistem kasta di India. Sistem tersebut tidak memungkinkan seseorang yang berasal dari kasta rendah dapat naik ke kasta yang paling tinggi.
Dalam agama seseorang tidak dibenarkan dengan sebebas-bebasnya dan sekehendak  hatinya berpindah agama untuk mencapai status tertentu.
2.      Diskriminasi kelas dalam sistem kelas terbuka.
Diskriminasi kelas dalam sistem kelas terbuka dapat menghalangi mobilitas keatas.  Hal itu terbukti dengan adanya pembatasan keanggotaan suatu organisasi tertentu dengan berbagai syarat dan ketentuan, misalnya jumlah DPR dibatasi hanya 500 orang.
3.      Kelas-kelas sosial.
Kelas sosial dapat menjadi subkultur tempat individu berkembang dan mengalami proses sosialisasi. Hal ini menjadi pembatas mobilitas sosial keatas. Misalnya, anak-anak dari kelas ekonomi rendah cenderung hidup dalam lingkungan, nilai dan pola pikir yang umumnya ada dalam masyarakat kelas rendah. Pengaruh sosialisasi yang kuat dari lingkungannya tersebut cenderung mengukuhkan sang anak untuk hidup dengan pola pikir masyarakat kelas rendah.
4.      Kemiskinan.
Kemiskinan dapat membatasi kesempatan bagi seseorang untuk berkembang dan mencapai stastus sosial tertentu. Sebagai contoh, Ahmad memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya karena kedua orang tuanya tidak bisa membiayai.
5.      Perbedaan jenis kelamin.
Perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap prestasi, kekuasaan, status sosial, dan kesempatan-kesempatan untuk maju. Pria dipandang lebih tinggi derajatnya dan cenderung menjadi lebih mudah mengalami gerak sosial daripada wanita. Sebagai contoh, wanita yang hidup di desa yang masih sederhana merasa bahwa perannya hanyalah sebagai ibu rumah tangga. Hal itu dipengaruhi oleh pandangan yang umum ada pada masyarakatnya.

E.     SALURAN-SALURAN MOBILITAS SOSIAL.

Pitrim A. Sorokin, di dalam mobilitas sosial secara vertikal dapat dilakukan lewat beberapa saluran, terpenting sebagai berikut:
a.       Angkatan bersenjata.
Dalam keadaan berperang dimana setiap negara menghendaki kemenangan maka jasa seorang prajurit tanpa melihat statusnya akan dihargai dalam masyarakat. Karena jasanya dapat menjatuhkan banyak korban, maka dimungkinkan dapat menanjak kedudukannya dan bahkan dapat memperoleh kekuasaan dan wewenang.
b.      Lembaga-lembaga pendidikan.
Pada umumnya lembaga pendidikan dinilai merupakan saluran yang konkrit dari mobilitas sosial vertikal, bahkan lembaga pendidikan formal dianggap sebagai sosial elevator yang bergerak dari kedudukan yang paling rendah ke kedudukan yang paling tinggi.
c.       Lembaga-lembaga keagamaan.
Lembaga ini juga merupakan salah satu saluran mobilitas sosial vertikal walaupun setiap agama menganggap bahwa setiap orang memounyai kedudukan yang sederajat, akan tetapi pemuka-pemuka agama selalu berusaha keras untuk menaikkan merekayang berkedudukan rendah ke kedudukan yang tinggi.
d.      Organisasi politik.
Saluran ini dalam banyak kasus terbukti memberi kesempatan yang cukup besar bagi setiap anggotanya untuk naik dalam tangga kedudukan dalam masyarakat. Bagi mereka yang pandai berorganisasi dalam organisasi politik mendapat kesempatan untuk dipilih sebagai anggota dalam DPR, sabagai wakil dari oraganisasi politik yang mengorbitkannya.
e.       Oraganisasi ekonomi.
Oraganisasi ini, baik yang bergerak dalam bidang perusahaan maupun jasa umumnya memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi seseorang untuk mencapai mobilitas sosial vertikal, karena dalam organisasi ini sifatnya relatif terbuka.

F.     FAKTOR MOBILITAS SOSIAL PADA MASYARAKAT MODERN

Horton dan Hunt (1987) mencatat ada 2 faktor yang memengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yakni:

1.      Faktor struktural.

Yakni jumlah relatif dari kedudukan tinggi yng bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya. Ketidakseimbangan jumlah lapangan kerjayang tersedia dibandingkan dengan jumlah pelamar atau pencari kerja adalah termasuk faktor struktural.

2.      Faktor individu.

Yang dimaksud faktor individu adalah kualitas orang perorang baik ditinjau dari segi tingkat pendidikannya, penampilannya, ketrampilan pribadi, dll. Termasuk faktor kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu.
Mana diantara kedua faktor di atas yang lebih kuat pengruhnya sulit ditentukan karena sifatnya saling melengkapi. Bisa saja disebuah masyarakat tertentu lapangan kerja yang tersedia relatif masih banyak dimana setiap hari iklan-iklan lowongan kerja terus saja bermunculn. Namun, sepanjang individu-individu yang ada ternyata tidak bisa memnuhi kualifikasi yang dibutuhkn mislnya mahir berbahasa inggris, maka besar kemungkinan tidak akan terjadi mobolitas vertikal.
Disisi lain, bisa saja strutur sosial yang ada begitu kaku (rigid) dimana kemungkinan sesorang untuk menembus batas-batas lapisan sosial relatif kecil tetapi ternyata masih ada pula satu-dua orang yang bisa lolos seleksi karena keberuntungan nasibnya. Seperti dicatat Horton dan Hunt, banyak orang yang benar-benar bekerja keras dan memenuhi segenap persyaratan mengalami kegagalan. Sebaliknya, keberhasilan kadang kala justru”jatuh” ke pangkuan orang lain. Seorang pegawai negeri golongan III yang bekerja puluhan tahun biasanya akan sulit bisa memiliki tabungan seratus juta lebih ketika pensiun. Tetapi, seorang pegawai negeri golongan satu atau seorang buruh perusahaan swasta, misalnya, suatu saat mungkin “kejatuhan bulan” karena memperoleh hadiah dadakan mobil, rumah, atau tabungan seratus lima puluh juta dari sebuah bank karena nasib baiknya.

G.    KONSEKUENSI MOBILITAS SOSIAL.

Kendati mobilitas sosial memungkinkan orang untuk menduduki jabatan yang sesuai dengan keinginannya, tetapi terdapat juga beberapa kerugian disamping manfaatnya. Beberapa kerugian akibat adanya mobilitas sosial ini antara lain adalah memungkinkan terjadinya ketidakpuasan dan ketidakbahagian di benak seseorang karena impian yang diidamkan tiak semua dapat digapai dengan mudah.
Secara rinci Horton dan Hunt (1987) mencatat beberapa konsekuensi negatif dari mobilotas vertikal, seperti kecemasan akan terjadinya penurunan status bila terjadi mobilitas menurun, ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat, keretakan hubungan antara anggota kelompok primer yang semula karena seseorang berpindah ke status yang lebih tinggi atau status yang lebih rendah.
Seorang karyawa perusahaan yang dipromosikan menduduki jabatan kepala bagian misalnya, besar kemungkinan akan menimbulkan rasa iri diantara sesama kolega lamanya dan bukan tidak mungkin akan menjadi bahan pergunjingan, meskipun kenaikan kariernya itu sebenarnya sesuai dengan aturan yang berlaku.Mobilitas sosial dapat merenggangkan ikatan sosial yang sudah lama terjalin, sehingga memunggkinkan pula terjadinya keterasingan diantara warga masyarkat.
Di lingkungan kelas sosialnya yang baru, seseorang yang baru saja naik status belum tentu diterima dengan tangan terbuka.seseorang yang kaya mendadak karena mendapat lotre atau warisan hibah, mungkin saja tetap dianggap bukan sebagai bagian dari kelompok elit ekslusive karena belum atau tidak memiliki gaya hdup yang sama. Orang-orang yang naik status, tetapi posisinya mengambang ini lazim disebut OKB (Orang Kaya Baru).Di lingkungan masyrakat desa ada sebutan (bernada cemoohan), seperti petruk dadi ratu atau kere munggah bale, untuk menyebut orang-orang tertentu orang kaya secara mendadak dan dinilai lupa darimana asalnya. Para OKB biasanya baru diterima dan dianggap sebagai bagian dari kelas sosial barunya bila telah beberapa lama melakuan penyesuaian atau adaptasi.

H.    MOBILITAS SOSIAL DI BIDANG PERTANIAN.

1.      Secara Vertikal

Contoh mobilitas social dalam masyarakat petani yaitu buruh pengrajin yang masih memiliki lahan pertanian, mereka hanya bekerja sebagai buruh sambilan, dan fungsi pekerjaannya hanyalah penambah pendapatan. Istilah yang sering diungkapkan oleh mereka yaitu “nasinya dari sawah dan lauknya dari pekerjaan industri.” Dalam kasus ini sebenarnya merupakan proses mobilitas sosial yang vertikal "ke bawah," karena kemudian menjadi pekerja dari orang lain. Namun jika bekerja sambilan ini dilihat sebagai "proses belajar" untuk dapat menjadi pengrajin, maka disebut mobilitas vertikal. 
Bagi pengrajin (sering disebut “juragan kecil”), umumnya masih bekerja sebagai pengrajin sambil bertani. Kalaulah mereka tidak bertani, tanah-tanah mereka disewakan kepada petani lain. Mereka belum sepenuhnya menaruh harapan kepada industri kecil, dan karenanya tanah-tanah pertaniannya dijadikan penyangga/alternatif jika terjadi kerugian dalam usaha industrinya. Hal ini contoh lain dari proses mobilitas sosial horizontal. Dalam pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), menurut penuturan pegawai suatu desa di sentra industri kecil tersebut, orang-orang demikian didesanya lebih menyukai disebut identitas pekerjaannya dalam KTP sebagai “wiraswasta” daripada sebagai petani, sungguhpun dalam kenyataannya mereka masih memiliki sawah. Bahkan label pekerjaan “wiraswasta” dalam KTP, menurut pegawai desa tersebut juga digunakan bagi para buruh industri kecil. Sebutan “buruh” menurut mereka adalah kasar, sehingga digunakan sebutan tersebut. Hal ini menandakan bahwa pekerjaan pengrajin lebih dihormati, atau kebanggaan menjadi pengrajin lebih tinggi daripada sebagai petani.
Bagi pengrajin pengusaha umumnya tidak lagi mempunyai lahan pertanian, karena lahan mereka sudah dijual untuk modal usaha bagi pengembangan usaha industri kecil. Mereka begitu yakin tergantung/ menggantungkan hidupnya pada industri kecil, karena pengalaman mereka telah menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan bagi jaminan hidup keluarganya. Kalaulah mereka memiliki lahan pertanian (pada umumnya dibeli setelah menjadi pengrajin), dan/atau fungsi lahan yang masih ada tersebut sebagai “tabungan” atau barang investasi bagi pengembangan usahanya. Jumlah mereka dalam studi ini hanya sedikit, yaitu sekitar 13,5 persen dari komunitas industri kecil tersebut. Orang-orang seperti ini menjadi "teladan" dan "model" bagi lingkungannya, dan dalam kenyataannya mereka dipandang memiliki status sosial yang lebih tinggi. Kondisi seperti ini ikut mempercepat dan memacu perkembangan usaha industri kecil di desa-desa sentra industri kecil tersebut. Mereka inilah yang menjalani mobilitas vertikal dari petani ke pengrajin industri kecil, dan telah mentransformasikan dirinya dari budaya agraris ke budaya industri kecil pedesan.

2.      Secara Horizontal.

Transformasi pekerjaan petani ke pengrajin industri kecil, juga telah mengakibatkan terjadinya proses mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Mobilitas sosial itu dapat dijelaskan dengan proses mereka menjadi buruh, pengrajin atau pengrajin pengusaha. Karena terbatasnya pekerjaan di sektor pertanian, buruh tani pindah atau bekerja sambilan sebagai buruh di industri kecil. Mereka yang sebagai buruh purna waktu umumnya tidak memiliki lahan sawah atau tegalan, atau karena terbatasnya jumlah upah sebagai buruh tani mereka memilih bekerja sebagai buruh pengrajin. Dengan demikian pekerjaan buruh industri kecil bagi mereka adalah sebagai "pekerjaan utama." . Inilah contoh dari mobilitas horisontal. 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dwi Narwoko. J, Suyanto Bagong, 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Surabaya: Kharisma        Putra Utama
http://www.google.com/sosiologi-pertanian/    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar