PENGERTIAN SOSIOLOGI
Sosiologi pada hakikatnya bukanlah
semata-mata ilmu murni (pure science) yang hanya mengembangkan ilmu pengetahuan
secara abstrak demi usaha peningkatan kualitas ilmu itu sendiri, namun
sosiologi bisa juga jadi ilmu terapan (applied
science) yang menyajikan cara-cara untuk mempergunakan pengetahuan ilmiahnya
guna memecahkan masalah praktis atau masalah sosial yang perlu ditanggulangi
(Horton and Hunt, 1987:41), seorang ahli sosiologi yang melakukan penelitian
tentang tekanan ekonomi atau masalah kemiskinan yang dialami keluarga buruh
tani misalnya, maka ia adalah seorang ilmuan murni.
Kekhususan sosiologi adalah bahwa
perilaku manusia selalu dilihat dalam kaitanya dengan struktur-struktur
kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, dan ditunjang bersama
(Veeger, 1985:3).
Sosiologi dengan demikian bisa dikatakan
sebagai ilmu tersendiri, karena ia adalah disiplin intelektual yang secara
khusus, sistematis, dan terandalkan mengembangkan pengetahuan tanpa hubungan
sosial manusia pada umumnya dan tentang produk dari hubungan tersebut (Hoult,
1969). Dengan kata lain, sosiologi mempelajari tingkah laku manusia sebagai
anggota masyarakat, sebagai individu yang terlepas dari kehidupan masyarakat.
Fokus bahasan sosiologi adalah interaksi manusia, yaitu pada pengaruh timbal
balik diantara dua orang atau lebih dalam perasaan, sikap, dan tindakan.
Sosiologi tidak begitu menitikberatkan pada apa yang terjadi di dalam diri
manusia (merupakan bidang studi psikologi), melainan pada apa yang berlangsung
di antara manusia.
PENGERTIAN SOSIOLOGI PERTANIAN
Sosiologi pertanian adalah suatu pengetahuan sistematis dari suatu hasil
penerapan metode ilmu dalam mempelajari masyarakat pedesaan, struktur sosial
dan organisasi sosial, dan juga sistem perubahan dasar masyarakat dan
proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat yang berkecimpu di dunia pertanian.
Sosiologi pertanian cenderung mengarah pada kehidupan keluarga petani yang
mencakup dalam hubungannya dengan kegiatan pertanian di kehidupan
bermasyarakat, misalnya tentang pola-pola pertanian, kesejahteraan
masyarakat, kebiasaan atau adat istiadat, grup sosial, organisasi sosial,
pola komunikasi dan tingkat pendidikan masyarakat serta struktur sosialnya.
Jadi sosiologi pertanian merupakan ilmu yang mempelajari tentang pertanian
sebagai mata pencarian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat itu
sendiri.
MOBILITAS SOSIAL
A. PENGERTIAN MOBILITAS SOSIAL
Mobilitas berasal dari kata
latin mobilis, yang artinya mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari tempat
yang satu ke tempat yang lain. Sedangkan social artinya sesuatu
yang dibangun dan terjadi dalam sebuah situs komunitas (Keith Jacobs). Dan Menurut
Horton dan Hunt (1987), mobilitas sosial
dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke
kelas sosial lainnya.
Mobilitas sosial bisa berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status
sosial dan biasanya termasuk pula segi
penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan
anggota kelompok.
Tingkat
mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda. Pada masyarakat
yang bersistem kelas sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakatnya
akan cenderung tinggi. Tetapi, sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup
seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta maka mobilitas warga
masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan
sama sekali tidak ada.
B. JENIS MOBILITAS SOSIAL.
Dalam
mobilitas sosial secara prinsip dikenal 2 macam, yaitu mobilitas sosial
vertikal dan mobilitas sosisal horisontal.
1. Mobilitas Sosial Vertikal.
Yang
dimaksud dengan mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau
obyek sosial dari kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainya yang tidak
sederajat (Soekamto, 1982:244). Sesuai dengan arahnya, dikenal dua jenis
mobilitas vertikal, yakni:
a. Gerak
sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota
masyarakat dari kelas sosial terendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. Gerak ini memiliki dua bentuk utama yaitu:
1) Masuk ke dalam kedudukan yang lebih tinggi. Masuknya individu-individu yang
mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, di mana
kedudukan tersebut telah ada sebelumnya. Contohnya
pak Anton adalah seorang Dosen disalahsatu PT, karena kerjanya bagus maka dia
diberi amanah menjadi Dekan Prodi.
2)
Membentuk kelompok baru. Pembentukan suatu kelompok baru memungkinkan individu untuk meningkatkan
status sosialnya, misalnya Pembentukan organisasi baru memungkinkan
seseorang untuk menjadi ketua dari organisasi baru tersebut, sehingga status
sosialnya naik.
b. Gerak sosial yang menurun (social
sinking), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial yang tinggi ke kelas sosial lain yang lebih rendah. Misalnya, seorang petani cengkeh yang jatuh miskin karena komoditas yang ditanamnya
tidak laku-laku dijual di pasaran.
Menurut Soedjatmoko (1980), mudah tidaknya seseorang
melakukan mobilitas vertikal salah satunya ditentukan oleh kekakuan dan
keluesan struktur sosial dimana orang itu hidup. Seseorang yang memiliki bekal
pendidikan yang tinggi bergelar doktor atau MBA, misalnya dan hidup di
lingkungan masyaraat yang menghargai profesionalisme, besar kemungkinan akan
lebih mudah menembus batas-batas lapisan sosial dan naik pada kedudukan lebih
tinggi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.
Sebaliknya, setinggi apapun tingkat pendidikan seseorang, tetapi bila ia hidup pada suatu
lingkungan masyarakat yang masih kuat nilai-nilai primodialisme dan sistem
hubungan koneksi, maka kecil kemungkinan orang tersebut akan bisa lancar
karirnya dalam bekerja.
Seorang petani miskin dalam banyak hal sulit naik
status sosialnya dan sulit meningkatkan penghasilanya bila ia hidup di bawah
sejumlah tekanan struktural. Untuk memperoleh bantuan kredit, misalnya, mereka bukan saja sering
kurang dipercaya, tetapi juga sulit memperolehnya karena kalah bersaing dengan
warga desa lain yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Studi yang dilakukan
Daru Priyambodo dan Bagong Suyanto (1991) menemukan bahwa para petani miskin
umunya agak sulit bisa memperoleh bantuan kredit dari lembaga KURK (Kredit
Usaha Rakyat Kecil) karena dinilai sering menunggak angsuran.
2. Mobilitas Sosial Horizontal.
Berbeda degan mobilitas sosial vertikal yang berarti
perpindahan dalam jenjang status yang berbeda, yang dimaksud mobilitas sosial
horisontal adalah perpndahan individu atau obyek-obyek sosial lainya dari suatu
kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainya yang sederajat. Dalam
mobilitas sosial yang horisontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status
seseorang ataupun obyek sosial lainya. Seorang buruh petani yang pada musim
paceklik berpindah pekerjaan menjadi buruh bangunan atau tukang becak di kota
tidak bisa di kategorikan sebagai mobilitas sosial vertikal karena mereka tidak
mengalami perubahan pendapatan atau status sosial secara berarti.
Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara
sukarela, tetapi bisa pula terjadi karena terpaksa. Apa yang dilakukan oleh
petani diatas bisa digolongkan sebagai mobilitas sosial terpaksa, artinya
petani tersebut terpaksa pindah ke pekerjaan lain karena memang di desanya
tidak ada lagi pekerjaan lagi yang bisa dilakukan disektor pertanian, karena
ancaman kekeringan. Contoh mobilitas sosial sukarela: seorang pegawai bank yang
sudah bosan dan jenuh dengan pekerjaannya dan kemudian ingin berkarir di tempat
lain, entah itu sebagai publik relation, dosen, atau pekerjaan yang lain.
C. FAKTOR-FAKTOR PENDORONG MOBILITAS SOSIAL.
1.
Motivasi.
Setiap
individu pasti memiliki keinginan tidak hanya memiliki cara hidup yang baik,
tetapi juga ingin memperbaiki sikap sosialnya. Dalam sistem terbuka ada
kemungkinan untuk mencapai status apapun. Keterbukaan ini memotivasi orang
untuk bekerja keras dan memperbaiki keterampilan sehingga seseorang dapat
mencapai status sosial yang lebih tinggi. Tanpa motivasi tersebut, upaya untuk mobilitas
sosial pun akan mustahil.
2.
Prestasi.
Prestasi
dapat mengacu terjadinya mobilitas sosial. Contohnya, performa positif anda
yang tidak terduga ketika muncul di depan umum, yang dapat menarik perhatian
publik yang lebih luas dengan kemampuan seseorang. Namun tidak semua prestasi
akan menghasilkan mobilitas sosial.
3. Pendidikan.
Pendidikan
tidak hanya membantu seorang individu untuk memperoleh pengetahuan tetapi juga
sebagai kunci untuk menuju prospek kerja yang lebih tinggi. Sebagai contoh,
untuk menjadi dokter, setidaknya orang harus memiliki pendidikan dalam mata
pelajaran sains, dan bisa meneruskan kejenjang perkuliahan.
4. Keahlian dan Pelatihan.
Setiap
masyarakat membuat ketentuan untuk memberikan keterampilan dan pelatihan untuk
generasi muda. Untuk memperoleh keterampilan dan pelatihan kita harus
membutuhkan banyak waktu serta uang. Mengapa orang-orang membutuhkan waktu dan
uang ? Alasannya adalah bahwa masyarakat dapat memberikan dorongan pada
orang-orang tersebut. Masyarakat tidak hanya memberikan status sosial yang
lebih tinggi, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang lebih tinggi dan hak
lainnya kepada orang-orang yang memiliki pelatihan tersebut. Tetap menjaga
orang-orang yang menjalani pelatihan ini dengan harapan untuk naik di strata sosial.
Dengan kata lain, keterampilan dan pelatihan memudahkan dalam perbaikan posisi,
ini menyebabkan mobilitas sosial.
5. Migrasi.
Migrasi juga
dapat mempermudah terjadinya mobilitas sosial. Orang-orang bermigrasi dari satu
tempat ke tempat yang lain karena ada faktor-faktor yang mendorongnya. Suatu
tempat tertentu mungkin tidak memiliki peluang dan fasilitas yang memadai. Oleh
karena itu, masyarakat dipaksa untuk bermigrasi ketempat lain untuk mendapatkan
mata pencaharian yang layak bagi mereka.
6. Industrialisasi.
Revolusi
industri mengawali suatu sistem sosial yangbaru di mana orang diberi status
sesuai dengan kemampuan dan pelatihan mereka. Itu tidaklah penting diberikan
kepada yang mempunyai kasta tertentu, ras, agama dan etnis. Industrialisasi mengakibatkan
produksi massal pada harga yang lebih murah. Hal ini memaksa para pengrajin
dari pekerjaan mereka. Dalam mencari pekerjaan, mereka bermigrasi ke kota-kota
industri. Mereka mendapatkan pelatihan keterampilan kerja dan mendapat
pekerjaan pada bidang industri. Dengan pengalaman dan pelatihan, mereka bisa
pindah atau naik tingkat pada strata sosial. Dalam masyarakat industri, status
pada pekerjaan meningkat capai dikarenakan pekerjaan dan pelatihan mereka
memumpuni. Sedangkan di masyarakat sebagai contoh pada daerah Bali yang
beragama hindu, status di anggap berasal sesuai dengan keturunan mereka.
D. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT MOBILITAS SOSIAL.
1.
Perbedaan rasial dan agama.
Mobilitas
sosial dapat terhambat karena faktor ras dan agama. Perbedaan ras menimbulkan
perbedaan status sosial. Berikut contohnya:
Perbedaan
tingkat ras yang pernah terjadi di Afrika Selatan. Ras kulit putih berkuasa dan
tidak memberi kedempatan ras berkulit hitam berada di pemerintahan sebagai
penguasa. Namun, setelah politik Apharteid berakhir, Nelson Mandela dari
kalangan kulit hitam menjadi presiden afrika Selatan
Sistem kasta di India. Sistem
tersebut tidak memungkinkan seseorang yang berasal dari kasta rendah dapat naik
ke kasta yang paling tinggi.
Dalam agama
seseorang tidak dibenarkan dengan sebebas-bebasnya dan sekehendak hatinya
berpindah agama untuk mencapai status tertentu.
2.
Diskriminasi kelas dalam sistem
kelas terbuka.
Diskriminasi
kelas dalam sistem kelas terbuka dapat menghalangi mobilitas keatas. Hal
itu terbukti dengan adanya pembatasan keanggotaan suatu organisasi tertentu
dengan berbagai syarat dan ketentuan, misalnya jumlah DPR dibatasi hanya 500
orang.
3.
Kelas-kelas sosial.
Kelas sosial
dapat menjadi subkultur tempat individu berkembang dan mengalami proses sosialisasi.
Hal ini menjadi pembatas mobilitas sosial keatas. Misalnya, anak-anak dari
kelas ekonomi rendah cenderung hidup dalam lingkungan, nilai dan pola pikir
yang umumnya ada dalam masyarakat kelas rendah. Pengaruh sosialisasi yang kuat
dari lingkungannya tersebut cenderung mengukuhkan sang anak untuk hidup dengan
pola pikir masyarakat kelas rendah.
4.
Kemiskinan.
Kemiskinan
dapat membatasi kesempatan bagi seseorang untuk berkembang dan mencapai stastus
sosial tertentu. Sebagai contoh, Ahmad memutuskan untuk tidak melanjutkan
sekolahnya karena kedua orang tuanya tidak bisa membiayai.
5.
Perbedaan jenis kelamin.
Perbedaan
jenis kelamin berpengaruh terhadap prestasi, kekuasaan, status sosial, dan
kesempatan-kesempatan untuk maju. Pria dipandang lebih tinggi derajatnya dan
cenderung menjadi lebih mudah mengalami gerak sosial daripada wanita. Sebagai
contoh, wanita yang hidup di desa yang masih sederhana merasa bahwa perannya
hanyalah sebagai ibu rumah tangga. Hal itu dipengaruhi oleh pandangan yang umum
ada pada masyarakatnya.
E. SALURAN-SALURAN MOBILITAS SOSIAL.
Pitrim A.
Sorokin, di dalam mobilitas sosial secara vertikal dapat dilakukan lewat
beberapa saluran, terpenting sebagai berikut:
a.
Angkatan bersenjata.
Dalam
keadaan berperang dimana setiap negara menghendaki kemenangan maka jasa seorang
prajurit tanpa melihat statusnya akan dihargai dalam masyarakat. Karena jasanya
dapat menjatuhkan banyak korban, maka dimungkinkan dapat menanjak kedudukannya
dan bahkan dapat memperoleh kekuasaan dan wewenang.
b.
Lembaga-lembaga pendidikan.
Pada umumnya
lembaga pendidikan dinilai merupakan saluran yang konkrit dari mobilitas sosial
vertikal, bahkan lembaga pendidikan formal dianggap sebagai sosial elevator
yang bergerak dari kedudukan yang paling rendah ke kedudukan yang paling tinggi.
c.
Lembaga-lembaga keagamaan.
Lembaga ini
juga merupakan salah satu saluran mobilitas sosial vertikal walaupun setiap
agama menganggap bahwa setiap orang memounyai kedudukan yang sederajat, akan
tetapi pemuka-pemuka agama selalu berusaha keras untuk menaikkan merekayang
berkedudukan rendah ke kedudukan yang tinggi.
d.
Organisasi politik.
Saluran ini
dalam banyak kasus terbukti memberi kesempatan yang cukup besar bagi setiap
anggotanya untuk naik dalam tangga kedudukan dalam masyarakat. Bagi mereka yang
pandai berorganisasi dalam organisasi politik mendapat kesempatan untuk dipilih
sebagai anggota dalam DPR, sabagai wakil dari oraganisasi politik yang
mengorbitkannya.
e.
Oraganisasi ekonomi.
Oraganisasi
ini, baik yang bergerak dalam bidang perusahaan maupun jasa umumnya memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi seseorang untuk mencapai mobilitas sosial
vertikal, karena dalam organisasi ini sifatnya relatif terbuka.
F. FAKTOR MOBILITAS SOSIAL PADA MASYARAKAT MODERN
Horton dan
Hunt (1987) mencatat ada 2 faktor yang memengaruhi tingkat mobilitas pada
masyarakat modern, yakni:
1. Faktor struktural.
Yakni jumlah relatif dari kedudukan
tinggi yng bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya.
Ketidakseimbangan jumlah lapangan kerjayang tersedia dibandingkan dengan jumlah
pelamar atau pencari kerja adalah termasuk faktor struktural.
2. Faktor individu.
Yang
dimaksud faktor individu adalah kualitas orang perorang baik ditinjau dari segi
tingkat pendidikannya, penampilannya, ketrampilan pribadi, dll. Termasuk faktor
kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu.
Mana
diantara kedua faktor di atas yang lebih kuat pengruhnya sulit ditentukan
karena sifatnya saling melengkapi. Bisa saja disebuah masyarakat tertentu
lapangan kerja yang tersedia relatif masih banyak dimana setiap hari
iklan-iklan lowongan kerja terus saja bermunculn. Namun, sepanjang
individu-individu yang ada ternyata tidak bisa memnuhi kualifikasi yang
dibutuhkn mislnya mahir berbahasa inggris, maka besar kemungkinan tidak akan terjadi
mobolitas vertikal.
Disisi lain,
bisa saja strutur sosial yang ada begitu kaku (rigid) dimana kemungkinan
sesorang untuk menembus batas-batas lapisan sosial relatif kecil tetapi
ternyata masih ada pula satu-dua orang yang bisa lolos seleksi karena keberuntungan
nasibnya. Seperti dicatat Horton dan Hunt, banyak orang yang benar-benar
bekerja keras dan memenuhi segenap persyaratan mengalami kegagalan. Sebaliknya,
keberhasilan kadang kala justru”jatuh” ke pangkuan orang lain. Seorang pegawai
negeri golongan III yang bekerja puluhan tahun biasanya akan sulit bisa
memiliki tabungan seratus juta lebih ketika pensiun. Tetapi, seorang pegawai
negeri golongan satu atau seorang buruh perusahaan swasta, misalnya, suatu saat
mungkin “kejatuhan bulan” karena memperoleh hadiah dadakan mobil, rumah, atau
tabungan seratus lima puluh juta dari sebuah bank karena nasib baiknya.
G. KONSEKUENSI MOBILITAS SOSIAL.
Kendati
mobilitas sosial memungkinkan orang untuk menduduki jabatan yang sesuai dengan
keinginannya, tetapi terdapat juga beberapa kerugian disamping manfaatnya.
Beberapa kerugian akibat adanya mobilitas sosial ini antara lain adalah
memungkinkan terjadinya ketidakpuasan dan
ketidakbahagian di benak seseorang karena impian yang diidamkan tiak semua
dapat digapai dengan mudah.
Secara rinci
Horton dan Hunt (1987) mencatat beberapa konsekuensi negatif dari mobilotas
vertikal, seperti kecemasan akan terjadinya penurunan status bila terjadi
mobilitas menurun, ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan
yang meningkat, keretakan hubungan antara anggota kelompok primer yang semula
karena seseorang berpindah ke status yang lebih tinggi atau status yang lebih
rendah.
Seorang
karyawa perusahaan yang dipromosikan menduduki jabatan kepala bagian misalnya,
besar kemungkinan akan menimbulkan rasa iri diantara sesama kolega lamanya dan
bukan tidak mungkin akan menjadi bahan pergunjingan, meskipun kenaikan
kariernya itu sebenarnya sesuai dengan aturan yang berlaku.Mobilitas sosial
dapat merenggangkan ikatan sosial yang sudah lama terjalin, sehingga
memunggkinkan pula terjadinya keterasingan diantara warga masyarkat.
Di
lingkungan kelas sosialnya yang baru, seseorang yang baru saja naik status
belum tentu diterima dengan tangan terbuka.seseorang yang kaya mendadak karena
mendapat lotre atau warisan hibah, mungkin saja tetap dianggap bukan sebagai
bagian dari kelompok elit ekslusive karena belum atau tidak memiliki gaya hdup
yang sama. Orang-orang yang naik status, tetapi posisinya mengambang ini lazim
disebut OKB (Orang Kaya Baru).Di lingkungan masyrakat desa ada sebutan (bernada
cemoohan), seperti petruk dadi ratu atau kere munggah bale, untuk menyebut
orang-orang tertentu orang kaya secara mendadak dan dinilai lupa darimana
asalnya. Para OKB biasanya baru diterima dan dianggap sebagai bagian dari kelas
sosial barunya bila telah beberapa lama melakuan penyesuaian atau adaptasi.
H. MOBILITAS SOSIAL DI BIDANG PERTANIAN.
1. Secara Vertikal
Contoh
mobilitas social dalam masyarakat petani yaitu buruh pengrajin yang masih
memiliki lahan pertanian, mereka hanya bekerja sebagai buruh sambilan, dan
fungsi pekerjaannya hanyalah penambah pendapatan. Istilah yang sering
diungkapkan oleh mereka yaitu “nasinya dari sawah dan lauknya dari pekerjaan
industri.” Dalam kasus ini sebenarnya merupakan proses mobilitas sosial yang
vertikal "ke bawah," karena kemudian menjadi pekerja dari orang lain.
Namun jika bekerja sambilan ini dilihat sebagai "proses belajar"
untuk dapat menjadi pengrajin, maka disebut mobilitas vertikal.
Bagi
pengrajin (sering disebut “juragan kecil”), umumnya masih bekerja sebagai pengrajin sambil bertani. Kalaulah mereka tidak bertani, tanah-tanah mereka disewakan kepada petani lain. Mereka belum sepenuhnya menaruh harapan kepada industri kecil, dan karenanya tanah-tanah pertaniannya dijadikan penyangga/alternatif jika terjadi kerugian dalam usaha industrinya. Hal ini
contoh lain dari proses
mobilitas sosial horizontal. Dalam pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), menurut penuturan pegawai suatu desa di sentra industri kecil tersebut, orang-orang demikian didesanya lebih menyukai disebut identitas pekerjaannya dalam KTP sebagai “wiraswasta” daripada sebagai petani, sungguhpun dalam kenyataannya mereka masih memiliki sawah. Bahkan label pekerjaan “wiraswasta” dalam KTP, menurut pegawai desa tersebut juga digunakan bagi para buruh
industri kecil. Sebutan “buruh” menurut mereka adalah kasar, sehingga digunakan sebutan tersebut. Hal ini menandakan bahwa pekerjaan pengrajin lebih dihormati, atau kebanggaan menjadi pengrajin lebih tinggi daripada sebagai petani.
Bagi pengrajin pengusaha umumnya tidak lagi mempunyai lahan pertanian, karena lahan mereka sudah dijual untuk modal usaha bagi pengembangan usaha industri kecil. Mereka begitu yakin tergantung/ menggantungkan hidupnya pada industri kecil, karena pengalaman mereka telah menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan bagi jaminan hidup keluarganya. Kalaulah mereka memiliki lahan pertanian (pada umumnya dibeli setelah menjadi pengrajin), dan/atau fungsi
lahan yang masih ada tersebut sebagai “tabungan” atau barang investasi bagi pengembangan usahanya. Jumlah mereka dalam studi ini hanya sedikit, yaitu sekitar 13,5 persen dari komunitas industri kecil tersebut. Orang-orang seperti
ini menjadi "teladan" dan "model" bagi lingkungannya, dan dalam
kenyataannya mereka dipandang memiliki status sosial yang lebih tinggi. Kondisi seperti ini
ikut mempercepat dan memacu perkembangan usaha industri kecil di desa-desa sentra industri kecil tersebut. Mereka inilah yang menjalani mobilitas vertikal dari
petani ke pengrajin industri kecil, dan telah mentransformasikan dirinya dari budaya
agraris ke budaya industri kecil pedesan.
2. Secara Horizontal.
Transformasi
pekerjaan petani ke pengrajin industri kecil, juga telah mengakibatkan terjadinya
proses mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Mobilitas sosial itu dapat dijelaskan dengan proses mereka menjadi buruh, pengrajin atau pengrajin pengusaha. Karena terbatasnya pekerjaan di sektor pertanian, buruh tani pindah atau bekerja sambilan sebagai buruh di industri kecil. Mereka yang sebagai buruh
purna waktu umumnya tidak memiliki lahan
sawah atau tegalan, atau karena terbatasnya jumlah upah sebagai buruh tani mereka memilih bekerja sebagai buruh
pengrajin. Dengan
demikian pekerjaan buruh industri kecil bagi mereka adalah sebagai "pekerjaan utama." . Inilah contoh dari mobilitas horisontal.
DAFTAR PUSTAKA
Dwi Narwoko. J, Suyanto Bagong, 2004. Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan. Surabaya: Kharisma Putra Utama
http://www.google.com/sosiologi-pertanian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar